Sosial media selalu akan semakin riuh rendah. Ada banyak hal yang membuat jadi tidak jelas lagi dimana kesenangan berkawan. Dinding aksi banyak memunculkan keramaian rendahan. Kebisingan luar biasa, karena mudahnya membagi ide dengan satu dua tetikan. Sekiranya ini jalan, maka sudah mendekati macet total. Seandainya ini bak pembuangan, maka rasanya sudah akan penuh karena banyaknya orang bersampah. Saatnya untuk berkisar, melewati jalan yang lebih tenang dan nyaman…

Saya ibaratkan saja lini masa itu bernama muka tebal, karena “muka” dan “buku” ketika digabung akan jadi buku muka. Muka yang berwujud buku, tidak saja membuat kita sulit menangkap ekspresi yang seharusnya muncul tetapi juga membuatnya jadi lebih tebal.

Dan ketika muka sudah tebal, maka sulit berharap rem akan dipakai. Tebal muka identik dengan tak punya malu, dan kalau memang sudah tak punya malu maka kontrol akan diri akan jauh berkurang.

fbtowp

Menulis di lini masa tak membutuhkan banyak kalimat, karena memang tujuan dibuatnya bukan itu. Meski karakter diberi keleluasaan lebih dari cuitan burung biru, tetap saja tujuannya bukan untuk budaya menulis yang “serius”. Kaidah penulisan pun dengan sendirinya tidak jadi soal. Jadi, riset data, runut dan runtut, serta segala tetek bengek aturan dalam memproduksi sebuah artikel yang baik menjadi tidak penting.

“Ketidak-seriusan” ini juga membuat lini masa lebih cocok untuk urusan membagi curahan hati daring, sindir-menyindir, maki-memaki, dan berbalas pantun. Sesuatu yang mungkin di dunia nyata tidak bisa dilakukan karena berbagai alasan. Entah karena sungkan atau tidak berani berhadapan muka secara langsung.

Lini masa semakin hingar bingar sejak kepentingan komersial ikut berperan. Muka tebal menjadi semakin tebal semata-mata karena alasan rupiah (dan juga dollar). Isi status menjadi tidak penting apakah akan menyinggung pihak lain atau bahkan berisi hal yang tidak benar.

Tentu ini tidak menyenangkan ketika pada akhirnya kita selalu disuguhi berbagai hal negatif–yang disadari atau tidak oleh penulisnya maupun pembagi tautannya berdampak luas bagi pembacanya. Menggerakkan orang untuk membuat sekat-sekat, mempolarisasi kelompok dan golongan, dan memperuncing perbedaan. Buku tebal semakin tebal muka, tidak lagi menyenangkan seperti halnya dahulu. Minimal untuk saya sendiri, ini jelas tidak menyenangkan, bahkan cenderung membuat gelisah.

Kegelisahan ini membawa saya pada keinginan untuk menantang diri lebih jauh. Bisakah saya tidak terseret arus dan menjadi ikut-ikutan bermuka tebal?

Pertanyaan diatas membawa saya pada dunia lama yang pernah saya geluti, dunia tulis. Mencoba belajar untuk menulis secara runut dan runtut, belajar melakukan riset sebelum menulis, mendasarkan tulisan pada data yang benar, dan sedikit demi sedikit memperbaiki kemampuan mengikuti aturan penulisan. Akhirnya, inilah saya. Terdampar di dunia menulis, dunia yang semoga membuat diri ini semakin kaya. Bukan kaya uang, tapi kaya pengalaman, kaya kemampuan sebagaimana pesan leluhur, Sugih Tanpa Banda, Digdaya Tanpa Aji.

Leave a Reply

Your email address will not be published.