Ada satu pengalaman menarik sekaligus memalukan saat mendapat kesempatan kursus ke Jepang. Dalam rangkaian kursus yang diselenggarakan melalui kerjasama antara JICA dan Pemerintah Indonesia itu, setiap peserta diharuskan untuk membawa notebook pribadi. Dalam setiap perangkat komputer pribadi peserta diwajibkan terinstal perangkat lunak pengolah data spasial. Panitia mengumumkan melalui email bahwa peserta dibebaskan untuk memilih perangkat lunak yang biasa digunakan. Tentunya dengan embel-embel catatan program tersebut merupakan program berlisensi atau boleh juga open source. Tidak disarankan program bajakan.
Untuk kepentingan kursus, panitia menyarankan program open source Quantum GIS. Maka, demi menjaga gengsi dan dengan sedikit terpaksa, Quantum GIS diinstal ke laptop pribadi. Tentunya karena terbiasa menggunakan Arc GIS oleh ESRI, menggunakan Quantum GIS cukup merepotkan. Antar muka yang terbiasa dihadapi membuat hari-hari awal kursus menjadi sedikit tersendat. Selain harus melakukan praktek atas materi yang disampaikan, secara pribadi harus juga membiasakan diri dengan program baru.
Tibalah di hari kedua kursus. Pada saat jam makan siang, seluruh notebook peserta ditinggal di dalam ruang kelas. Disinilah kejadian yang memalukan ini terjadi. Karena masih ada proses yang belum diselesai dikerjakan, sementara seluruh peserta harus meninggalkan ruang kelas sesuai waktu yang dijadwalkan, maka notebook pun ditinggal dalam keadaan aktif.
Sambil berjalan menuju kafetaria, peserta sempat bercakap-cakap dengan instruktur. Persis sesaat setelah meninggalkan ruang kelas, tiba-tiba instruktur berujar, “Di Indonesia banyak sekali pelajar dan mahasiswa yang cukup kaya ya?!”
Pertanyaan yang sedikit aneh karena dilontarkan tiba-tiba.
Kontan saja ada peserta yang menanggapi, “Kenapa Sensei?”
“Ya, saya lihat di notebook para peserta, selain Quantum GIS yang kita gunakan untuk kursus ini, saya juga melihat banyak yang di notebooknya terinstal ArcGIS. Padahal ini program yang sangat mahal.”
Upps…. kontan saja celetukan itu membuat peserta dari Indonesia tertawa kecut. Sepertinya sang instruktur tidak berkata dengan maksud sebenarnya, sangat mungkin dia sebenarnya sedang secara halus menyindir. Kenyataannya, program Arc GIS yang terinstal sebenarnya program bajakan. Tidak hanya itu, bahkan MS Office yang digunakan pun rata-rata adalah program bajakan. Hampir dipastikan instruktur tahu akan hal ini.
Dalam pekerjaan sehari-hari– saat di Indonesia terutama–keaslian program bukan merupakan tuntutan. Disini, mungkin hanya sebagian orang yang aware dengan isu ini. Kebanyakan orang, apalagi mahasiswa, sudah jamak menggunakan program bajakan. Sementara, orang-orang di luar negeri, mereka sangat menghargai hak cipta.
Pengalaman ini menjadi pelajaran yang sangat berharga. Tentu memalukan sekali bila kita disindir seperti cerita itu di hadapan kolega-kolega kita dari luar negeri. Jadi, kalau memang mampu belilah lisensi. Kalau tidak, gunakan saja perangkat lunak open source. Begitu kurang lebih pesannya. 🙂